Laotan,
sahabat Kakek Wisnusarman, menyamar sebagai penerbang agar bisa ikut
diskusi tertutup para pilot yang menuntut keadilan. Supaya pantasa
bicara seenaknya. Laotan tampil sebagai pilot muda. Hal itu cukup
sulit dilakukan, kendati wajah kakek tetap boyish.
Ia tetap harus menyingkirkan jenggotnya yang seputih kapas dan
panjang, serta menyemir hitam rambutnya.
“Pilot
asing di gaji tinggi, pilot bangsa sendiri digaji rendah. Hopo
tumon?” Seorang pilot senior
mengemukakan pendapatnya dengan gemetar.
“Begitu pensiun kita diusir dari rumah dinas. Benar – benar
tidak sesuai dengan UUD, GBHN, dan P4,” seorang pilot senior lain
menyambung.
Seorang pilot muda maju ke depan. “Kita tuntut imbalan sama untuk
tugas dan tanggungjawab yang sama!” Pilot muda itu berteriak,
sambil mengacungkan tinju. “Tuntutan kita keadilan! Sederhana
bukan? Lantas kenapa begitu sulit?
Seorang pilot muda tampil, Laotan. “Hmmmm,” dengusnya
mendengung. “Kita sudah banyak mengeluh, tapi terlalu sedikit jalan
keluar.”
“Jalan keluar bagaimana maksudmu?” tukas pilot muda terdahulu.
“Mencari jalan keluar itu tugas pemimpin, bukan kita. Kita sudah
banyak berbuat. Masih kurang aksi corat – coret? Apa lagi, kita kan
sudah ke DPR?”
“Betul,”
jawab Laotan, pura – pura batuk. “Maksud saya, apa yang harus
kita lakukan selanjutnya?”
semua yang hadir tertegun mendengarkan kata – kata itu. Betul
juga, pikir mereka. Apa gerangan yang bisa dilakukan setelah menuntut
dan menuntut? Akibatnya semua pilot muda menoleh kearah pilot tua.
“Hanya bisa menunggu, barangkali?” ujar seorang pilot tua
akhirnya.
“Menunggu sih boleh saja,” jawab seorang pilot tua lain.
“Masalahnya, ketidakadilan yang sama itu terus berlangsung. Terus
bertambah parah!”
“Kalau begitu kita tuntut lagi,” teriak seorang pilot muda.
“Kita menuntut tak habis – habisnya, kalau perlu dengan teknik
paling baru. Kita bisa berguru pada aktivis mahaiswa!”
Hadirin membersihkan kerongkongan dengan serentak, lalu terdiam.
Dalam keheningan itu, Laotan menggeser kursinya sehingga terdengar
bunyi berdenyit menusuk telinga. Akibatnya semua menoleh kearahnya.
“Kamu ada usul?” tanya mereka.
“Ah, tidak. . .” jawabnya pura – pura tersipu. “Nanti
ditertawakan. . .”
“Ayolah,” desak rekan – rekannya yang muda. “Kita kan
demokratis. Apalagi, orang semuda kita, ditertawakan kan tidak apa –
apa.”
“Yah kalau begitu, baiklah. . .” Semua peserta siap mendegar.
“Usul
saya, kita diam saja!” katanya sambil berbisik. “kita diam tanpa
menuntut, tanpa mengeluh. Diam tanpa berbuat apa pun. Saya yakin
semua soal akan selesai dengan sendirinya.”
sekonyong – konyong ruangan itu penuh tawa terbahak – bahak.
Semua terguncang – guncang, kecuali pilot muda. Yang ini berdiri,
lalu menjambak kerah baju Laotan.
“Kamu masih berani bermain – main, hah?” bentaknya geram.
“Uh, jangan cekik leherku. Kamu kira saya main – main apa?”
“Kalau tidak, ayo, jelaskan usulmu!” bentak pilot muda itu lagi.
“Sabar sedikit, kenapa sih?” Laotan protes. “Coba dengarkan.”
“Sabar sedikit, sabar sedikit. Bagaimana kamu masih bisa sabar
kalau dibayar limabelas ribu sebulan saban kali kamu tak bisa
terbang?”
“Dengarkanlah,” pinta Laotan. “Kalau kita diam tak berbuat apa
– apa, maka kenyataan sekarang ini akan punya kesempatan menghadapi
soal- soal sendiri. . .”
“Maksudmu, persoalan bisa selesai sendiri tanpa seorangpun berbuat
apa – apa?”
“Bukan
begitu,” sahut Laotan tenang. “Begini. Kalau kita digaji kurang,
pilot kan terpaksa cari tambahan. Karena cari tambahan, kan bisa
gagal terbang. Kalau gagal terbang, kan dibayar limabelas ribu
sebulan. Kalau dibayar
limabelas ribu sebulan, kan makin perlu cari tambahan. Karena lelah
mencari tambahan, pilot kan bisa mengatuk. Kalau mengantuk, kan bisa.
. . crash!” Sambil
berkata begitu laotan menerjunkan tangannya seperti pesawat jatuh.
“Demikian juga halnya kalau pensiun diusir dari rumah dinas. Karena
memikirkan diusir kan pilot bisa bingung. Karena bingung, kan bisa
crash!”
“Dan itu berarti, kamu mati! Habis perkara!” tukas pilot muda
yang satu dengan ketus.
“Mungkin.
Artinya bisa juga tidak mati. Orang
lenggang kangkung di jalan pun bisa mati.
Orang tidur pulas pun mati.”
“Benar
– benar usul gila!” pilot muda yang
satu lagi itu bukan main berang. “Mending usulku kemarin. Lebih
baik kita mendirikan partai. Satu partai yang menjamin kepentingan
pilot. Partai Pilot berdasarkan keadilan. Dengan itu, kita tak perlu
lagi ke DPR. Di sana akan duduk wakil kita sendiri. Namun, usul saya
ditolak.”
“Bukannya ditolak,” sahut seorang pilot tua. “Cuma kan ada
undang – undang, tak boleh ada partai baru.”
“Sejak
semula, keadilan melulu,”
Laotan mengejek. “Tuntutan keadilan muncul setelah kepentingan
terganggu, bukan sebaliknya. Lantas, apa yang muncul setelah tuntutan
keadilan? Sesungguhanya mengabaikan tuntutan keadilan membuat
kehidupan tentram.”
“Benar ngaco – belo!” hardik si pilot muda.
“Sama sekali tidak,” tangkis Laotan. “Dengarkan. Kalau yang
berguna digunakan, kamu sebut apa itu? Keadilan, bukan?”
“Yah betul, itulah keadilan!” sahut pilot muda yang lain itu.
“Kalau yang tak berguna diabaikan, kamu sebut apa itu?”
“Itu juga keadilan.”
“kalau begitu,” kata Laotan tenang. “Yang lebih unggul dari
keadilan adalah gunanya yang tidak berguna.”
“Ngaco
– belo!” hardik pilot muda lagi. “Di mana letak keunggulan
dari gunanya yang tidak berguna?”
“Bukankah
pohon yang berguna terancam
ditebang secepatnya? Bukankah pohon yang tak berguna dibiarkan hidup
sepanjang masa?”
“Ngaco – belo!”
“Sama sekali tidak!” lagi – lagi Laotan menangkis. “Pohon
yang tak berguna bebas dari tuntutan keadilan. Itulah gunanya yang
tak berguna. Lelaki yang pincang tak memerlukan sepatu, tetapi juga
bebas dari wajib militer. Itulah gunanya yang tak berguna.”
“Apa hubungan semua omong – kosongmu dengan derita pilot?”
gugat si pilot muda.
“Hubungannya,” sahut Laotan. “Usul saya untuk tidak berbuat
apa – apa. Coba. Digaji limabelas ribu sebulan berarti kita tak
berguna jadi pilot. Diusir dari rumah dinas berarti kita tak berguna
jadi pilot. Nah, gunanya kita tak berguna jadi pilot, yah, berhenti
jadi pilot. Gampang, bukan?”
“Lantas, siapa yang menerbangkan pesawat kalau begitu?”
“Siapa yang digunakan saja!”
“Lalu siapa yang memperjuangkan keadilan?” si pilot muda makin
berang.
Jawaban Laotan tidak terdengar, tapi ia membersihkan semir
rambutnya, lalu tampil seperti dirinya yang asli, seorang tua.
Secepatnya ia menghilang dari pertemuan itu.
“Bukankah hilangnya kewajaran disusul gencarnya masalah keadilan?
Bukankah meningkatnya kepintaran menimbulkan kemunafikan? Bukankah
kehancuran keluarga menimbulkan masalah ketaatan anak – anak?
Bukankah kacaunya pemerintah menimbulkan masalah kesetiaan warga?
Kalau kalian paham semua itu, bukankah masalah pilot gampang
sebenarnya?”
Di pintu keluar Laotan bertemu dengan Wisnusarman.
“Saya mencarimu ke mana – mana. Darimana saja kamu bocah tua?”
tanya Wisnusarman.
Sebagai sahabat kental, Wisnusarman mengerti apa yang terjadi dengan
Laotan, kendati tanpa penjelasan.
16 November 1979
Parakitri T. Simbolon
CUCU WISNUSARMAN
Penerbit NALAR, Jakarta, April 2005