Rabu, 05 Juli 2017

Bajak Laut






Dari Nu'man Bin Basyir r.a., Rosulullah bersabda, “perumpamaan persaudaraan kaum muslim dalam cinta dan kasih sayang di antara mereka adalaha seumpama satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh sakit maka mengakibatkan deman seluruh tubuh demam dan tidak bisa tidur” (Hadist riwayat Muslim)

“Kau akan bertemu teman, laut sangat luas. Pergilah kesana dan temui teman temanmu!” - Jaguar D. Sauro 'One Piece'

anggap saja kopi malam ini sama seperti kopi 7 Mei beberapa tahun yang lalu. Dibawah lampu temaram warung kopi, kami berdebat meresmikan nama sebuah kelompok bajak laut. Nama sudah ditemukan dan beranggotakan 4 orang pada awalnya. Di minggu minggu berikutnya ku temui satu persatu orang yang berminat dan berpotensi ikut dalam anggota bajak laut tersebut. Sehingga kita semua sekitar berlima-belas. Dari koki, navigator, medis, si cantik, si horor, tukang kayu, dll, lengkap sudah anggota bajak laut ini. Berlayar ke beberapa lautan dan menaklukannya. Terkenal sudah bendera kami dan dikenal bajak laut yang lain. Kita juga berteman dengan bajak laut yang lain. Kecil memang bajak laut ini, tapi kamu lumayan disegani di lautan. Kami pernah berjanji untuk menggapai cita-cita bersama, dan saling menjaga satu sama lain.

Sampai suatu ketika kita di porak porandakan, oleh ombak yang memaksa kita untuk terpisah satu sama lain. Kita tak lagi satu kapal. Ada beberapa gelombang yang tidak mengjinkan kami untuk saling bertemu. Hingga tahun-tahun berlalu begitu cepat.

Kini kami saling bertemu. Mereka sudah memiliki kelompok bajak laut sendiri, berlayar di lautan masing masing. Kita bersalaman, sesama ketua kelompok bajak laut, bercerita dan tertawa-tawa. Namun kutukan itu masih ada. Kita harus menunggu beberapa tahun lagi untuk bisa bertemu selama satu malam, di warung kopi..


siapa saja mereka? tidak perlu disebutkan. karena mereka masih dalam buron. harga kepala mereka mahal. mahal bagiku. mereka diburu kenangan dan dicari rindu

Jumat, 30 Juni 2017

ABAIKANLAH KEADILAN




Laotan, sahabat Kakek Wisnusarman, menyamar sebagai penerbang agar bisa ikut diskusi tertutup para pilot yang menuntut keadilan. Supaya pantasa bicara seenaknya. Laotan tampil sebagai pilot muda. Hal itu cukup sulit dilakukan, kendati wajah kakek tetap boyish. Ia tetap harus menyingkirkan jenggotnya yang seputih kapas dan panjang, serta menyemir hitam rambutnya.
“Pilot asing di gaji tinggi, pilot bangsa sendiri digaji rendah. Hopo tumon?” Seorang pilot senior mengemukakan pendapatnya dengan gemetar.
“Begitu pensiun kita diusir dari rumah dinas. Benar – benar tidak sesuai dengan UUD, GBHN, dan P4,” seorang pilot senior lain menyambung.
Seorang pilot muda maju ke depan. “Kita tuntut imbalan sama untuk tugas dan tanggungjawab yang sama!” Pilot muda itu berteriak, sambil mengacungkan tinju. “Tuntutan kita keadilan! Sederhana bukan? Lantas kenapa begitu sulit?
Seorang pilot muda tampil, Laotan. “Hmmmm,” dengusnya mendengung. “Kita sudah banyak mengeluh, tapi terlalu sedikit jalan keluar.”
“Jalan keluar bagaimana maksudmu?” tukas pilot muda terdahulu. “Mencari jalan keluar itu tugas pemimpin, bukan kita. Kita sudah banyak berbuat. Masih kurang aksi corat – coret? Apa lagi, kita kan sudah ke DPR?”
Betul,” jawab Laotan, pura – pura batuk. “Maksud saya, apa yang harus kita lakukan selanjutnya?”
semua yang hadir tertegun mendengarkan kata – kata itu. Betul juga, pikir mereka. Apa gerangan yang bisa dilakukan setelah menuntut dan menuntut? Akibatnya semua pilot muda menoleh kearah pilot tua.
“Hanya bisa menunggu, barangkali?” ujar seorang pilot tua akhirnya.
“Menunggu sih boleh saja,” jawab seorang pilot tua lain. “Masalahnya, ketidakadilan yang sama itu terus berlangsung. Terus bertambah parah!”
“Kalau begitu kita tuntut lagi,” teriak seorang pilot muda. “Kita menuntut tak habis – habisnya, kalau perlu dengan teknik paling baru. Kita bisa berguru pada aktivis mahaiswa!”
Hadirin membersihkan kerongkongan dengan serentak, lalu terdiam.
Dalam keheningan itu, Laotan menggeser kursinya sehingga terdengar bunyi berdenyit menusuk telinga. Akibatnya semua menoleh kearahnya.
“Kamu ada usul?” tanya mereka.
“Ah, tidak. . .” jawabnya pura – pura tersipu. “Nanti ditertawakan. . .”
“Ayolah,” desak rekan – rekannya yang muda. “Kita kan demokratis. Apalagi, orang semuda kita, ditertawakan kan tidak apa – apa.”
“Yah kalau begitu, baiklah. . .” Semua peserta siap mendegar.
Usul saya, kita diam saja!” katanya sambil berbisik. “kita diam tanpa menuntut, tanpa mengeluh. Diam tanpa berbuat apa pun. Saya yakin semua soal akan selesai dengan sendirinya.”
sekonyong – konyong ruangan itu penuh tawa terbahak – bahak. Semua terguncang – guncang, kecuali pilot muda. Yang ini berdiri, lalu menjambak kerah baju Laotan.
“Kamu masih berani bermain – main, hah?” bentaknya geram.
“Uh, jangan cekik leherku. Kamu kira saya main – main apa?”
“Kalau tidak, ayo, jelaskan usulmu!” bentak pilot muda itu lagi.
“Sabar sedikit, kenapa sih?” Laotan protes. “Coba dengarkan.”
“Sabar sedikit, sabar sedikit. Bagaimana kamu masih bisa sabar kalau dibayar limabelas ribu sebulan saban kali kamu tak bisa terbang?”
“Dengarkanlah,” pinta Laotan. “Kalau kita diam tak berbuat apa – apa, maka kenyataan sekarang ini akan punya kesempatan menghadapi soal- soal sendiri. . .”
“Maksudmu, persoalan bisa selesai sendiri tanpa seorangpun berbuat apa – apa?”
“Bukan begitu,” sahut Laotan tenang. “Begini. Kalau kita digaji kurang, pilot kan terpaksa cari tambahan. Karena cari tambahan, kan bisa gagal terbang. Kalau gagal terbang, kan dibayar limabelas ribu sebulan. Kalau dibayar limabelas ribu sebulan, kan makin perlu cari tambahan. Karena lelah mencari tambahan, pilot kan bisa mengatuk. Kalau mengantuk, kan bisa. . . crash!” Sambil berkata begitu laotan menerjunkan tangannya seperti pesawat jatuh. “Demikian juga halnya kalau pensiun diusir dari rumah dinas. Karena memikirkan diusir kan pilot bisa bingung. Karena bingung, kan bisa crash!”
“Dan itu berarti, kamu mati! Habis perkara!” tukas pilot muda yang satu dengan ketus.
“Mungkin. Artinya bisa juga tidak mati. Orang lenggang kangkung di jalan pun bisa mati. Orang tidur pulas pun mati.”
“Benar – benar usul gila!” pilot muda yang satu lagi itu bukan main berang. “Mending usulku kemarin. Lebih baik kita mendirikan partai. Satu partai yang menjamin kepentingan pilot. Partai Pilot berdasarkan keadilan. Dengan itu, kita tak perlu lagi ke DPR. Di sana akan duduk wakil kita sendiri. Namun, usul saya ditolak.”
“Bukannya ditolak,” sahut seorang pilot tua. “Cuma kan ada undang – undang, tak boleh ada partai baru.”
Sejak semula, keadilan melulu,” Laotan mengejek. “Tuntutan keadilan muncul setelah kepentingan terganggu, bukan sebaliknya. Lantas, apa yang muncul setelah tuntutan keadilan? Sesungguhanya mengabaikan tuntutan keadilan membuat kehidupan tentram.”
“Benar ngaco – belo!” hardik si pilot muda.
“Sama sekali tidak,” tangkis Laotan. “Dengarkan. Kalau yang berguna digunakan, kamu sebut apa itu? Keadilan, bukan?”
“Yah betul, itulah keadilan!” sahut pilot muda yang lain itu.
“Kalau yang tak berguna diabaikan, kamu sebut apa itu?”
“Itu juga keadilan.”
“kalau begitu,” kata Laotan tenang. “Yang lebih unggul dari keadilan adalah gunanya yang tidak berguna.”
“Ngaco – belo!” hardik pilot muda lagi. “Di mana letak keunggulan dari gunanya yang tidak berguna?”
“Bukankah pohon yang berguna terancam ditebang secepatnya? Bukankah pohon yang tak berguna dibiarkan hidup sepanjang masa?”
“Ngaco – belo!”
“Sama sekali tidak!” lagi – lagi Laotan menangkis. “Pohon yang tak berguna bebas dari tuntutan keadilan. Itulah gunanya yang tak berguna. Lelaki yang pincang tak memerlukan sepatu, tetapi juga bebas dari wajib militer. Itulah gunanya yang tak berguna.”
“Apa hubungan semua omong – kosongmu dengan derita pilot?” gugat si pilot muda.
“Hubungannya,” sahut Laotan. “Usul saya untuk tidak berbuat apa – apa. Coba. Digaji limabelas ribu sebulan berarti kita tak berguna jadi pilot. Diusir dari rumah dinas berarti kita tak berguna jadi pilot. Nah, gunanya kita tak berguna jadi pilot, yah, berhenti jadi pilot. Gampang, bukan?”
“Lantas, siapa yang menerbangkan pesawat kalau begitu?”
“Siapa yang digunakan saja!”
“Lalu siapa yang memperjuangkan keadilan?” si pilot muda makin berang.
Jawaban Laotan tidak terdengar, tapi ia membersihkan semir rambutnya, lalu tampil seperti dirinya yang asli, seorang tua. Secepatnya ia menghilang dari pertemuan itu.
“Bukankah hilangnya kewajaran disusul gencarnya masalah keadilan? Bukankah meningkatnya kepintaran menimbulkan kemunafikan? Bukankah kehancuran keluarga menimbulkan masalah ketaatan anak – anak? Bukankah kacaunya pemerintah menimbulkan masalah kesetiaan warga? Kalau kalian paham semua itu, bukankah masalah pilot gampang sebenarnya?”
Di pintu keluar Laotan bertemu dengan Wisnusarman.
“Saya mencarimu ke mana – mana. Darimana saja kamu bocah tua?” tanya Wisnusarman.
Sebagai sahabat kental, Wisnusarman mengerti apa yang terjadi dengan Laotan, kendati tanpa penjelasan.

16 November 1979
Parakitri T. Simbolon
CUCU WISNUSARMAN
Penerbit NALAR, Jakarta, April 2005

Senin, 29 Mei 2017

gunung


Dear gunung yang kurindukan,

Hari ini tak seperti biasanya. Semarang malam sangat berangin. Dingin dengan segala kesunyianmu. Mengingatkanku pada sebuah tempat. Gunung. Hawa dan hembusan angin ini membuatku memejamkan mata menuju angan yang lain. Suasana perbukitan dengan aroma malammu yang khas. Bau rumput dan dedaunan yang segar, tak tertinggal embun dan kabut memenuhi pandangan mata. Hampir setiap malam begitu suasanamu. Mungkin ditambah gurauan sahabat dan kenalan di atas dataran tinggi ini. Aku kemudian ingat segala kenangan tentang malam damai beserta segala memori tentang alam. Alam yang dulu sering muncul dalam bedge organisasi saat itu.

Di lewat dini hari ini aku duduk di teras lantai 2 kosan ku di Semarang. Tempat yang jauh dari asalku. Malam ini aku sedang sangat merindukan gunung. Aku rindu tempatmu, aku rindu suasamu, aku rindu persahabatanmu, aku rindu lelah letih menujumu, aku rindu matahari terbitmu, aku rindu sampahmu, aku rindu masakanmu, aku rindu rerumputanmu, aku rindu hutanmu, aku rindu tanah tandusmu, aku rindu semua tentang mu. Aku selalu kagum terhadapmu. Kagum bagaimana cara mu berdiri menghadap langit, melawan terpaan angin, membisu di ketinggian.

Namun berikutnya, aku sedikit membencimu. Dulu kamu hanya milikku. Sekarang, hampir semua orang mengagumimu. Awalnya aku senang karena mereka sadar tentang kemegahanmu. Kemudian banyak orang mulai mendatangimu. Mereka memujamu dan mengambil fotomu. Menujumu tanpa mencintaimu. Mereka berbondong – bondong datang kepadamu tanpa tau siapa kamu. Yang mereka pedulikan hanyalah mereka berhasil menaklukanmu. Aku tidak suka jika banyak yang menyukaimu. Aku benci. Egois memang. Tapi dalam hati aku benar – benar tidak suka jika orang lain menyukaimu selain aku. Aku tidak jatuh cinta padamu gunung, aku hanya mengagumi mu. Namun, sekarang kamu dengan mudah dimiliki orang. Aku merasa tidak memilikimu lagi. Aku tidak tau kemu melupakanku atau tidak, aku hanya tau kamu sudah tidak seperti dulu. Sehingga aku memutuskan untuk melupakanmu.

Sudah lama aku tidak bertemu denganmu. Bahkan hampir melupakan kemegahanmu. Malam ini berbeda. Tiba tiba hembusan angin dingin mu membelaiku ketika aku pulang dari warung kopi tadi. Sehingga malam ini kunikmati dengan hanya terduduk di balkon kos ku. Aku sedang memanggilmu dalam imajinasiku. Tak perlu tersampaikan atau tidak, aku hanya merindumu. Bukan aku ingin benar benar melupakanmu, aku hanya tidak suka mereka memperlakukanmu seenaknya. Mereka tidak berkenalan saat mereka menghampirimu. Gunung, aku kecewa pada mereka yang datang tanpa memberi apapun kepadamu. Aku mengkhawatirkanmu. Aku akan lebih sering marah jika berbicara tentang dirimu yang sedang ramai jadi pusat perhatian. Aku memarahi mereka yang denga mudah pergi darimu tanpa pamit. Aku mengenalmu gunung, bahkan terlalu akrab. Maka dari itu jika salah satu dari mereka tidak menghormatimu, aku akan memberi tahunya dengan nada tinggi. Banyak yang bilang aku sok tau tentangmu. Ku acuhkan mereka karena ini demi kebaikanmu. Tak ku hiraukan perkataan mereka tentang jangan sok ngatur ketika mendatangimu. Kamu terlalu berharga buatku. Karena kamu bagian dari metamorfosa hidup yang membentuk diriku menjadi seperti ini. Terimakasih gunung, atas segala hal yang telah kau ajarkan padaku.



Pengagummu

afif

Rabu, 26 April 2017

Matahari Terbit di Pantai Sigandu | Jalan - Jalan Senja




kali ini rada panjang posnya. Yauda baca aja sih. Uda nyampe sini juga.




Hari ini adalah hari yang membuat saya bimbang. Pasalnya ada pertemuan dan touring vespa ke Batang Jawa Tengah tepatnya di Pantai Sigandu namun hari selasa saya harus maju untuk presentasi di sebuah mata kuliah. Sebelumnya saya belum pernah ke kota yang berdekatan dengan pekalongan ini. Namun setelah bertanya kesana kemari, rata rata jawaban yang saya dapat adalah “batang deket kok dari Semarang”. Oke, saya siap berangkat ke kota tersebut. Hari keberangkatan Sabtu siang yang seharusnya Sabtu pagi itu terkendala karena malam harinya saya harus menemani adek – adek tingkat ikut acara kartini di kampus dan mengajak nongkrong setelahny dan kesiangan. Namun keberangkatan saya yang terlambat itu malah mempermudah kendala saya ke Batang karena bertemu dengan seseorang yang tidak terduga.

Sabtu jam 2 siang saya bersiap dan memanasi kendaraan vespa saya yang bernama vebi. Disamping karena warnanya biru, dia juga berbentuk vespa. Makanya saya singkat menjadi vebi. Vespa tua bermesin PX 150cc tahun 1974 akan menemani perjalanan saya menuju batang tempat ulangtahun klub vespa batang. Seharusnya saya tidak berdua saja kesana melainkan bertiga. Namun karena teman saya yang dari jambi itu mengurungkan niatnya untuk ikut saya ke Batang h-11 jam, karena dia mau pergi ke Gunung Sumbing untuk menuliskan salam pada sebuah kertas kepada dia yang tersayang. Oke fine. Jadi siang itu saya hanya berdua dengan vebi mengarungi Semarang – Batang.

Siang i tu sangat terik. Saya tipe orang yang suka jalan – jalan dengan kendaraan umum. Kereta contohnya. Tapi tidak suka naik bis kecuali terpaksa, bau. Tapi saya juga suka jalan – jalan naik vespa. Karena nyampe nya lama. Jadi seru saja. Namun ada yang berbeda dengan perjalanan Semarang – Batang. Sepanjang perjalanan sangat banyak sekali jalanan jelek seperti jalan berlubang dan tambalan aspal yang tidak rata. Lalu ada lagi jalanan keluar kota semarang menuju kendal, disitu jalannya menurut saya paling parah. Karena banyak sekali spot aspal yang tidak rata sehingga jalannya sangat bergeronjal. Bukannya apa, Vespa adalah kendaraan dalam kota. Dan dia tidak bagus kalo di jalanan bergeronjal karena struktur suspensi vespa itu sendiri. Masih menggunakan teknologi jadul dan tidak bisa menerima hantaman yang terlalu keras. Itu lah yang menghambat perjalanan saya menuju Batang yang menurut saya jalannya memang “jelek” bagi vespa. Karena itu juga charger hp yang saya taruh di tas yang saya ikat di 'back rack' vespa terjatuh. Lalu juga sempat mogok karena terkena guncangan terus dan mengakibatkan bensin yang tidak lancar menuju mesin. Sedih kan.

Keluar dari kota Semarang menuju Kendal disalip oleh beberapa vespa yang membunyikan klakson ketika bertemu dengan pengendara vespa yang lain atau disebut scooterist. Ada seorang pria berjaket abu – abu menyalip saya dengan kecepatan tinggi dan membunyikan klakson untuk menyapa saya. Saya balas dengan mengacungkan jempol sebagai tanda lain jika vespa kita tidak ada klaksonnya. Namun ada yang aneh, di persimpangan Kendal lingkar dan kota, dia berhenti. Mungkin dia bingung. Sembari menyalip saya teriak pada pria tersebut untuk belok ke arah kanan karena lampu persimpangan yang sudah berwarna hijau ketika saya melintas. Setelah itu dia mulai mengikuti di belakang saya. Dia juga sempat menyampaikan untuk membuntuti saya sampai tempat tujuan. Saya iyakan padahal saya juga belum pernah ke lokasi jambore kali ini. Itung – itung biar ada temannya. Sampai persimpangan berikutnya dia bertanya saya dari klub mana. Saya jawab kalau tidak dari klub mana mana. Karena independen. Lalu dia juga bertanaya “kenal dengan Sanni nggak?”, lalu saya menggeleng karena saya tidak tahu itu siapa. Lalu di jalan lingkar Kendal vebi sempat mogok untuk ganti busi. Akhirnya saya menepi. Dan pria tersebut juga ikut menepi. Saya bilang pada dia
“om kalo mau duluan duluan aja”,
“nggak, aku nggk apal jalan” balas dia.
“emang dari mana om” sahutku lagi sambil bongkar busi vebi.
“dari deket sini kok, mranggen(kalo ga salah)”
“kok ga apal om, kan deket”
“aku pernah kecelakaan dan amnesia. Ini mata kanan juga rada burem”
“lah ngapain ikut touring om”
“aku lagi cari wanita yang namanya Sanni, yang aku inget jelas dulu sebelum kecelakaan aku pernah deket sama dia. Tapi setelah itu aku lupa dia dari mana, tapi dia dari Semarang”
“trus?”
“ya karena suka juga sama vespa, dia juga suka sama vespa, dulu aku anak CB. Tp karena di klub banyak konflik saya pindah ke vespa. Cuma di vespa aku nemu kedamaian. Aku juga suka dangdutnya roma irama, karena isinya semua tentang kehidupan dan kedamaian. Tapi dangdut sekarang isinya rusak semua”
saya cuma bisa nyengir sambil pasang busi yang baru.
“musik reggae itu isinya tentang perdamaian semua. Aku ga apal semua lagu lagunya. Tapi semua lagunya penuh makna. Dan dibikin tenanan (serius)”
setelah vebi selesai dibenerin kami mulai melanjutkan perjalanan ke Batang.

Di tengah perjalana di alasroban, vebi mogok lagi. Saya benerin lagi semaksimal mungkin, namun tetep gabisa nyala. Dengan wajah bingung saya terduduk di aspal. Lalu pria yang ikut saya yang kemudian saya tahu namanya Basir itu menawarkan “uda nyerah belom? Kalo uda sini”. Saya cuma menyodorkan obeng yang saya pakai untuk otak atik vebi. Lalu Om Basir mulai mengotak – atik vebi dengan cekatan dan bisa hidup beberapa menit kemudian. Di sela tawanya dia mengaku kalau dia sempat kerja di bengkel sebelum kecelakaan tersebut. “kenapa ga nawarin dari tadi” batinku kesal tapi juga bersyukur karena saya punya orang bengkel dalam perjalanan kali ini. Di mogok berikutnya pun juga dia yang benerin vebi.
“kalo mogok lagi di tinggal aja” kata dia ngomel.
“jangan om, aku sayang sama vebi”
“sayang ko ga dirawat. Vespa itu bukan agama. Kalo kamu sayang sama agama, kamu akan dirawat sama agama itu, kalo vespa ga dirawat ya dia bakal nyusahin koe” kata dia yang tahu betul dengan kondisi vebi yang lumayan parah karena dia orang bengkel. Saya cuma terdiam bukan karena abis diomelin Om Basir, tapi kerana merasa bersalah dengan vebi. Maaf ya vebi.

Setelah perjalan jauh dan mogok yang berulang kali, akhirnya kita sampai di Pantai Sigandu Batang jam 7 malam. Lumayan lama karena perjalanan normal itu 2,5 jam. Ya karena faktor kendaraan juga ya. Istirahat sebentar di lokasi karena badan mulai pegel. Lalu saya di telfon oleh Gugus Sulemane karena dia tinggal di Batang dan kami sempat janjian bertemu sebelumnya. Karena Om Basir tadi cuma numpang perjalan ya akhirnya kami berpisah malam itu juga. Sekitar jam setengah 8 saya bertemu dengan Sulem di gerbang pantai Sigandu. Lalu kita langsung beranjak menuju Istana kediaman Sulemane. Sampai disana dia menyuguhkan buah buahan dari kebun pribadi dan mi goreng instan yang sangat lezat karena waktu itu saya benar – benar lapar. Tapi nongkrong disana tidak bisa lama karena Gugus sendiri ada pertemua Kopdar Gabungan Megapro Batang di malam yang sama. Akhirnya jam 9 malam saya kembali ke lokasi vespa tersebut.



Ada beberapa penampilan panggung yang menyanyikan alunan lagu reggae. Disini entah mengapa saya hampir menangis. Tidak tahu juga kenapa, mungkin karena lagu – lagu yang sedang tepat dengan kondisi diri saya. Ada beberapa lagu yang saya nyanyikan dengan suara gemetar. Dari Serenada nya Steven Coconut dan Tertanam dari Tony Q. lagu – lagu itu mengingatkan dengan teman – teman dan kampung halaman. Lalu sempat terjadi bentrok di tengah penonton. Mungkin terjadi senggolan antar penonton. Tapi perlu di garis bawahi, pengendara vespa dan pecinta musik reggae tidak akan pernah bentrok karena semua cinta damai. Tapi malam itu ada yang bentrok, dan semua yang disana yakin kalau itu bukan dari anak vespa. Jadi penonton yang bermasalah tadi di keluarkan dari area konser. Setelah bentrok tadi polisi naik keatas panggung dan mengancam akan membubarkan jika ada yang bentrok lagi. Akhirnya kami semua menyanyikan lagu Indonesia Raya pasca bentrok tadi dan menyalakan korek masing – masing. 

 
Entahlah. Malam itu saya sangat senang berada disana. Bergabung bersama kaum kaum kusam ini. Di komunitas vespa semuanya sama, tidak ada perbedaan baru dengan vespa lama. Tidak ada perbedaan vespa bagus dengan jelek. Tidak ada perbedaan vespa bersih dan vespa gembel. Semuanya sama. Ketika ada kesusahan akan saling bantu satu sama lain. Memang mereka kadang berpenampilan jorok. Bahkan ada juga yang ngemis di pom untuk dapat seliter bensin. Saat ada acara vespa, mudah sekali ditemui orang mabuk dengan berbagai miras. Ada istilah namanya 'amunisi' atau 'arak minum sini'. Mereka juga berjualan di depan polisi dan membiarkan begitu saja. Di kerumunan kaum kusam ini saya membatin. Saya lebih baik bersama mereka orang – orang yang tidak saya kenal, tidak memikirkan apapun. Disini tidak peduli partai politik atau agama. Kita semua membawa masalah masing – masing,tapi melupakan sejenak ketika disini, di acara vespa. Egois memang jika apatis tidak memikirkan negara, tapi toh apapun yang terjadi dengan nengara ini tidak terlalu pengaruh terhadap pengendara vespa. Tidak ada IPK yang harus ditinggikan. Tidak ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Tidak ada pertemanan yang menjengkelkan. Tidak ada pemerintah yang menggugurkan impian. Semua hanya tentang persaudaraan dan perdamaian. Kita disini hanya mencari ketenangan. Kita cuma minoritas dalam mayoritas. Tapi minoritas yang menyenangkan. Bukan karena haus bersenang – senang. Hanya menikmati yang tidak dinikmati.

Ketika konser dan beberapa band sudah selesai, panggung mulai meredup. Para penonton juga sudah kembali dan mencari tempat tidur masing – masing. Saya mulai memasang 'hammock' atau tempat tidur gantung diantara dua pohon. Cepat terlelap karena memang badan sudah sangat lelah.

Pagi terbangun. Yang membuat saya terkejut adalah hammock yang saya pasang itu langsung menuju cakrawala pantai. Tempat matahari mengintip di fajar pagi. Belum beranjak dari hammock, saya menikmati detik – detik matahari mulai meninggi. Saya hanya bersyukur tentang semua yang terjadi hari itu. Disana ada vespa, pasir pantai, dan matahari terbit. Ok im done. Saya sudah puas dengan liburan kali ini. 

Ketika waktu menunjukan pukul 7 saya segera berkemas karena hari selasa ada presentasi. Perjalanan pulang segera dan kembali ke realita kehidupan. Saya punya tanggungan disana..

Sabtu, 25 Februari 2017

Akhirnya Dia Datang

sumber gambar : http://blog.act.id/wp-content/uploads/2015/08/berkah-hujan-kemarau.jpg



Hujan adalah hal yang tidak mereka sukai. Mereka menganggap hujan akan menghambat aktifitas dan perkerjaan mereka. Padahal hujan turun dengan bahagia, tapi tak sedikit yang mengilhaminya duka. Hujan tidak sendirian, dia bersama awan hitam dan kilatan petir. Sesekali guntur ikut menyorakkan suasana. Hujan dianggap pengacau disegala kegiatan, karena hujan menyebabkan banyak hal basah. Menyebabkan para tamu undangan tidak dapat menghadiri acara tempat mereka diundang, membuat para partisipan car free day tidak dapat turun ke jalan, menghasilkan genangan air dimana – mana yang membuat pasar semakin becek. Membuat kekacauan dari banjir hingga tanah longsor. Begitu kata mereka yang tidak menyukai hujan. Berbeda dengan para pendamba hujan yang sangat bahagia ketika hujan turun. Andai aku bisa menari, mungkin aku sudah berdansa dibawah hujan. Namun apa daya, yang kubisa lakukan hanya berdiri dibawah hujan dan hanya tersenyum, memejamkan mata, dan kutadahkan wajahku keangkasa membiarkan rintiknya berjatuhan membasahinya. Geli rasanya ketika mereka berjatuhan dengan begitu lebatnya di semua anggota tubuhku. Namun karena aku mengaguminya, kubiarkan dia menjamah seluruh bagian tubuhku tanpa terkecuali. Kulihat butiran air itu datang dengan menyengaja, menyengaja terhadap bumi yang lama tak basah. Berjuta ton air itu melewati akar – akarku dan dengan senang hati aku mengambil dan menyerap semampuku dan dengan floem yang tak henti bekerja keras mengirim ke penjuru batang tubuh. Kini tanah sekitarku basah. Atau yang kalian sering bilang becek, berlumpur, dan menggenang. Aku suka dengan kondisi itu, membuat tanah lebih gembur dan akar – akarku melesat dengan kokoh di bawah lapisan tanah.

 Hujan yang kalian sesali adalah hujan yang kami sukai, diimpikan selama berhari – hari. Tanpanya kami tak akan mampu bertahan di bumi yang semakin panas dengan sendirinya. Bukan sendirinya, melainkan karna kalian yang mulai malas mejaganya. Hujan ini menjagaku dari kekeringan dan kehausan. Bagaimana tidak, kalian yang semakin acuh dengan keberadaanku. Jangankan menyiram, pedulipun tidak. Hingga Tuhan sendiri yang menyiramiku secara langsung. Hujan itulah bentuk pertolonganNya padaku. Hujan yang kalian sesali menghasilkan bibit – bibit baru untuk kelangsungan hidupku, bukan hanya aku, tapi tentu juga kalian yang membutuhkanku mengolah Karbon Dioksida dan Karbon Monoksida sebagai Oksigen yang kalian hirup. Ketahuilah jika semua itu terjadi atas ijinNya. Maka jangan terlalu murka dengan oksigen yang kalian hirup secara cuma – Cuma.
 
Terimakasih hujan yang mampu menyambung kembali rasa lapar yang mendera berhari – hari dan terimakasih banyak Sang Penurun Hujan karena tanpaMu ini tak akan terjadi..

Rabu, 22 Februari 2017

pohon tumbang (i)




Kemarin sore ada kejadian mengerikan. Kulihat pohon pohon ini ditebang. Mungkin biasa saja bagi sebagian orang, bahkan ada yang beranggapan bahwa memang lebih baik ditebang. Sedih rasanya, di Bumi yang semakin panas ini masih sering ditemui hal – hal seperti ini. Jengkel, saya bertanya kepada beberapa orang di sekitar situ perihal kenapa pohon ini ditebang. “uda terlalu besar mas, nanti takutnya ngerobohin rumah sini”, “jadi gelap mas, kalo di tebang gini kan jadi kelihatan padang(baca:terang)”, “sudah waktunya ditebang mas”. Jawaban seperti itulah yang rata – rata saya terima. 

source : http://www.pikiran-rakyat.com/sites/files/public/image/2016/11/akar%20pohon.jpg
 
Lalu aku bertanya kepada korban, yaitu tiga pohon besar yang sudah terpenggal – penggal menjadi beberapa bagian, “kenapa kalian ditebang? Apa kalian melakukan sesuatu yang salah?”. Kemudian salah satu pohon itu membentakku dan berkata “kami tak melakukan apapun? Aku juga tak menyenggol apapun! Aku juga membenamkan akar – akarku dengan benar dibawah aspal kalian! Aspal kalian itu membuat akar – akarku kesulitan mencari air. Kalian menghalangi hujan dasar sialan!” aku tertegun terdiam mendengarkan salah satu penjelasan pohon tersebut sedang dua pohon yang lain hanya menangis. 

“mereka bilang takut rumah mereka hancur apabila salah satu dari kami roboh. Kupikir kalian saja yang bikin rumah terlalu dekat dengan kami. Jauh jauh sana kalo tak mau tertimpa pohon tumbang!” dia menambahi “nenek moyang kalian dulu menanam kami disini itu supaya jalanan menjadi teduh dan adem! membuat udara sejuk! Padahal waktu itu kami masih sangat kecil dan tidak berpengaruh kepada nenek moyang kalian. Tapi mereka memikirkan kalian! Mereka ingin kalian adem dan tidak kepanasan! Sekarang kalian malah pake AC yang jelas – jelas bayar mahal!” lagi aku terdiam mendengar perkataan mereka. “dunia semakin panas kawan kecilku, kami cuma ingin membantu mengolah udara kalian” kali ini dia memelankan suaranya. Terimakasih pohon tumbang. Aku pergi meninggalkan mereka dan menaruh sebuah batu di pangkal batang mereka. Tanda bela sungkawa telah meninggal kepedulian terhadap lingkungan.

-pohon tumbang-

source : blog lama yang ditulis ulang